31
May 2015

 

BANDA ACEH - Setelah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur (NTT), The Wahid Institute kembali menggelar sosialisasi Program M-Pantau KBB di Aceh. Sosialisasi yang melibatkan sejumlah komunitas ini digelar di Kota Banda Aceh, Sabtu (30/5) pagi.

 

Sosialisasi yang digelar di aula LSM Flower Aceh ini melibatkan beberapa perwakilan komunitas, di antaranya Gempur, Perhimpunan Hakka Indonesia (PHI) Banda Aceh, Sobat KBB, perwakilan umat Budha Banda Aceh, AFSC, VG dan Aceh Institute.

 

Media Outreach Officer The Wahid Institute, Andi Irawan, mengatakan sosialisasi tersebut dilaksanakan guna mengajak partisipasi mayarakat, terutama komunitas, untuk ikut menginformasikan dinamika perdamaian dan kerukunan umat beragama di Aceh kepada masyarakat di luar Aceh.

 

“Aceh, dengan kekhususannya, dengan syariat Islam yang kini dilaksanakan, memiliki keunikan tersendiri. Tingkat toleransi antar umat beragama di Aceh sangat tinggi. Ada banyak praktik baik dalam kerukunan antar umat beragama di Aceh, namun sedikit sekali informasi yang tersampaikan ke luar mengenai hal ini,” ujar Andi.

 

“Perayaan Imlek yang meriah dengan adanya partisipasi umat muslim. Gotong royong bersama masyarakat membersihkan tempat-tempat ibadah agama lain. Delegasi Barongsai yang berisi pemuda-pemudi muslim pribumi dan nonmuslim Tionghoa. Ini adalah praktik baik dalam perdamaian dan toleransi beragama di Aceh, yang patut dijadikan contoh bagi masyarakat lain di luar Aceh,” katanya.

 

Ia mengatakan, melalui Program M-Pantau KBB The Wahid Institute mengajak komunitas-komunitas di Aceh untuk giat menginformasikan praktek-prakter baik tersebut.

 

M-Pantau KBB merupakan program pemantauan dan pelaporan dinamika kebebasan beragama dan berkeyakinan serta di Indonesia yang dilaksanakan The Wahid Institute dengan dukungan dari Cipta Media Selular (CMS). Melalui M-Pantau KBB, masyarakat bisa menggunakan layanan short message service (SMS) untuk melaporkan pelanggaran dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan serta praktik baik yang terjadi dalam kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

 

“Laporan-laporan melalui M-Pantau KBB ini diharapkan menjadi early warning system atas potensi-potensi konflik yang dipicu oleh diskriminasi atau intoleransi atas isu keagamaan, kesukuan. Ini juga menjadi sumber informasi praktek baik kerukunan beragama di Indonesia yang bisa dijadikan contoh dalam menjaga perdamaian di Indonesia,” sebut Andi lagi. [WI]

 

 
29
May 2015

 

JAKARTA - Sebagai masalah global, respons terhadap radikalisme dan terorisme sudah seharusnya dilakukan melalui konsolidasi dan gerakan global. Umat Islam di dunia harus harus menunjukan dan membuktikan kepada dunia, Islam tidak seperti yang disalahartikan sebagai agama yang dekat dengan radikalisme dan terorisme. Sebaliknya, Islam penuh dengan cinta dan perdamaian. Islam model itulah yang selama ini dipraktikan Nahdlatul Ulama di Indonesia. Islam yang tidak gampang kafir-kafirkan orang lain. Dan salah satu negara strategis itu di antaranya Mesir.

 

Demikian pesan utama yang disampaikan Direktur the Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid saat memberi sambutan dalam Diskusi Umum Pra Muktamar NU ke-33 Nahdlatul ulama "Konsolidasi Dunia Islam Menghadapi Radikalisme dan Terorisme," siang ini di aula pertemuan the Wahid Institute, Jakarta (29/5/2015).

 

Ke depan, lanjut Yenny, tantangan umat Islam di dunia tidak ringan. “Pada 2015, umat Islam bakal menjadi kekuatan agama terbesar kedua di dunia. Dan jika tantangan radikalisme dan terorisme tak bisa dibendung, maka citra umat Islam bakal terus tercoreng.”

 

Hadir dalam kesempatan itu, Katib Syuriyah PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf, Prof. Dr. Abdelmonem Fouat Othman, utusan khusus Syaikh Grand Al Azhar, Mesir, Prof. Rudiger Lohlker ahli studi Islam Universitas Wina, Austria, dan Mohamed Aboelfath Ahmed redaktur senior Harian Al Ahram Mesir.

 

Kepada 70-an peserta yang hadir, KH Yahya Cholil menegaskan, umat Islam tak bisa mengelak bahwa di tubuh umat ini ada kasus radikalisme dan terorisme. “Itu masalah kita sebagai umat Islam. Dan kita harus mengatasinya. Tidak harus selalu mencari kambing hitam,” tandas mantan juru bicara kepresidenan era KH. Abdurrahman Wahid itu.

 

Yang harus diyakinkan dan dipahami, terang KH. Yahya, gerakan radikalisme dan terorisme bukan ajaran umum umat Islam. Di Indonesia, karakter Islam Nusantara yang damai dan toleran sudah dipraktikan, dihayati, dan bukan sekedar gagasan. “Dan salah satu tokoh yang menggerakannya sejak era 80-an adalah Gus Dur.”

 

Perhelatan ini merupakan rangkaian Pra Muktamar NU ke-33. Muktamar sendiri akan digelar pada 1-5 Agustus di Jombang Jawa Timur. Kegiatan itu diperkirakan akan dihadiri sekitar 50 ribu orang. [AMDJ]

 
29
May 2015

 

JAKARTA - The Wahid Institute menggelar diskusi publik sebagai bagian dari rangkaian Pra Muktamar ke 33 PBNU yang rencananya akan diselenggarkan Agustus di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Berlangsung di Aula Wahid Institute, Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Matraman, diskusi berjudul “Konsolidasi Dunia Islam menghadapi Radikalisme dan Terorisme ” bertujuan mendorong konsolidasi sesama negara mayoritas muslim dan memberikan gambaran kepada masyarakat dunia tentang “Meneguhkan Islam Nusantara” yang menjadi payung tema Muktamar kali ini. Islam Nusantara sebagai potret keislaman yang penting bagi kehidupan dunia yang damai dan saling menghargai.

 

“NU dalam serjarahnya memiliki peran internasional. Secara nasional, Islam yang dianut warga nahdliyin bukan Islam takfiri atau gemar mengafirkan kelompok agama lain. Nah, tantangan gerakan Islam ada dalam kelompok Islam itu sendiri. Gerakan Islam radikal dan teror berkembang tidak hanya di belahan negeri di Arab, melainkan juga berkembang di Indonesia yang justru menjadi ancaman bagi kehidupan keberagamaan kita. Kita perlu saling bekerjasama, berkonsolidasi menciptakan perdamaian dunia,” kata Yenny Wahid dalam sambutan selaku Direktur the Wahid Institute.

 

K.H. Yahya Cholil Staquf, Katib Syuriyah PBNU mengantarkan diskusi kepada tema. Ia menambahkan bahwa Islam di Indonesia bersendikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kecenderungan saling menghargai dan toleransi memang dipupuk sejak lama dari generasi ke generasi. Islam di Indonesia sebagai Islam yang menjunjung tinggi perbedaan dan penghormatan pada tradisi. Tantangan dunia Islam sekarang adalah membangun hubungan kerjasama. Baik dari sisi pengetahuan maupun dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang mendorong hubungan tidak saling curiga. Islam Timur Tengah perlu belajar dari Islam di Indonesia, begitu juga sebaliknya. Karena itu pula, peran pondok pesantren yang digerakan Nahdlatul Ulama memiliki posisi sentral secara meluas.

 

Gus Yahya menambahkan, “Sebagaimana amanat pembukaan UU bahwa negara bertujuan terlibat  melakukan ketertiban dunia dan perdamaian. Di tengah situasi politik dunia yang kian memanas karena sekelompok kaum radikal mengatasnamakan Islam mengakibatkan citra islam buruk di mata internasional. Sebagian bagian dari warga dunia maka NU mendorong umat muslim di dunia untuk menyampaikan dan memberi contoh bahwa islam itu penuh kasih sayang dan saling menghormati dalam perbedaan.” Gus Yahya menilai adanya kecenderungan Islam yang toleran dan saling menghargai tidak terlepas dari peran KH Abdurrahman Wahid, KH. Mustofa Bisri, KH. Masdar F. Mas’udi, KH Abdul Mujib di Kajen, KH Maemoen Zubair dan anaknya Gus Ghofur Maemon, Sarang mencoba lebih baik dalam melayani pendidikan santri dan masyarakat.

 

Guru Besar Al Azhar, Syaikh Prof. Dr. Abdelmonem Fouad Othman mengamini apa yang dikatakan KH. Yahya Staquf yang juga pengasuh Ponpes Roudlotut Thalibien Leteh, Rembang. “Pandangan tentang Islam sesungguhnya tidak seperti yang digambarkan media-media Barat. Pandangan negatif tersebut digerakan secara politik melalui media internet untuk menyamakan Islam dengan kekerasan. Padahal sesuai pesan Baginda Nabi, hewan pun tidak boleh dianiaya apalagi manusia tanpa alasan yang jelas. Pandangan Islam yang penuh cinta kasih dan perdamaian perlu dijelaskan kepada internasional. ISIS adalah gerakan politik dan bukan mewakili pandangan tentang Islam karena tidak ada kasih sayang di dalamnya. Bagaimana mungkin jenis kelompok muslim semacam itu mewakili pandangan ajaran Islam?”

 

Peneliti Pusat Studi Islam di Universitas Wina, Austria Prof. Rudiger Lohlker menceritakan pengalaman di negerinya yang sempat dilanda Islamofobia. Ketika seorang muslim mengumandangkan azan “Allahu Akbar”, warga Austria tidak mengerti maksud kalimat tersebut justru merasa khawatir dan ketakutan. Karena itulah guna mengatasi persoalan tersebut, Austria ingin di negerinya ada pusat studi kajian Islam yang melalukan pendidikan dan penelitian tentang perkembangan Islam di dunia. Indonesia yang karakter keislamannya berbeda dengan tradisi di Timur Tengah turut menjadi bagian sangat penting. Rudiger mengamati adanya karakteristik yang baik dalam berkembangnya Islam di Nusantara. Karena itu Austria perlu menggali pengalaman keagamaan di Indonesia. Warga negara di dunia yang tidak mengerti Islam, ketika ingin belajar agama Islam justru mendapatkan informasi yang keliru dari media internet.

 

Mohamed Aboelfath Ahmed, Redaktur Senior Harian "Al Ahram" Mesir menindaklanjuti pembahasan peran media dalam membangun informasi yang keliru. Di Mesir, media yang berkembang juga bermacam-macam. Tidak sedikit yang memberikan penjelasan keliru tentang Islam melainkan media massa juga terjadi politisasi. Akibatnya, masyarakat internasional mendapatkan info tentang Islam dan negara Mesir secara keliru.  Ia meyakini, bila Nahdlatul Ulama bisa mendorong informasi melalui internet dengan cara yang jujur dan mendorong perdamaian, perubahan besar-besaran akan terjadi tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia. Selama di Indonesia, Aboelfath menegaskan, Islam di Indonesia lebih Islami dari Islam di Timur Tengah.

 
26
May 2015

 

JAKARTA - Program pengembangan ekonomi komunitas yang digagas Wahid Institute (WI) membuat pihak-pihak yang peduli pada pengembangan masyarakat tertarik berpartisipasi. Salah satunya The Body Shop, produsen produk kecantikan dan perawatan tubuh yang bermarkas di Inggris.

 

The Body Shop Indonesia meminta WI menampilkan karya-karya perempuan dampingan dalam pameran peluncuran produk kecantikan yang mereka gelar pada Kamis 26/5/2015 di Hotel Double Tree,Jakarta. Dalam peluncuran itu hadir sebagai pembicara Direktur Wahid institute Yenny Wahid, GM Corporate Communication The Body Shop Indonesia Rika Anggraini dan Artis Carrisa Putri.

 

Dalam kesempatan itu, Rika Anggraini mengatakan Bodyshop Indonesia berkomitmen untuk mendukung program Penguatan Komunitas Perempuan (Empower the Women Community) dari keuntungan penjualan produk BodyShop bernama Kajal Matte selama periode penjualan Ramadhan.

 

Program ini merupakan program penguatan perencanaan keuangan serta pengembangan koperasi dan usaha komunitas bagi 2.000 perempuan di tujuh kota lewat tiga langkah strategis, yaitu koperasi simpan pinjam, memberikan edukasi tentang financial literacy, dan mengembangkan usaha komunitas yaitu binatu.

 

“Kami mengajak para customer untuk berpartisipasi melalui donasi langsung di kasir-kasir The Body Shop,” kata Rika.

 

Wahid Institute menjadi satu-satunya lembaga non profit yang didapuk berpartispasi dengan membuka gerai dalam acara itu. Diharapkan, gerai tersebut menjadi pintu informasi bagi para insan pers yang hadir bahwa Bodyshop betul-betul menyokong kegiatan pemberdayaan perempuan.

 

Oleh sebab itu, Yenny Wahid dalam kesempatan tersebut menyampaikan perkembangan-perkembangan yang telah dicapai WI selama bekerjasama dengan The Body Shop.

Menurut Yenny program pemberdayaan komunitas perempuan ini menggunkan langkah pemberian pinjaman lunak kepada kaum perempuan melalui Koperasi Cinta Damai (KCD) berupa Microfinance for Religious and Ethnicity Harmony.

 

Para penerima bantuan ini akan mendapat pembiayaan dan pendampingan dalam mengembangkan usaha kecil keluarga. ” Tujuan lainnya yaitu untuk menjamin berlangsungnya pendidikan anak-anak mereka,” jelas Yenny. [gf]

 
21
May 2015

 

JAKARTA - ASEAN harus mengintervensi pemerintah Myanmar agar kebijakan diskriminatif junta militer atas etnis Rohingnya dihapuskan. Untuk itu, Asosiasi negara-negara Asia Tenggara ini harus didesak menghapus kebijakan yang telah menutup peluang intervensi atas negara-negara sesama anggota.

 

Hal ini disampaikan Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid, dalam konferensi pers Solidaritas Lintas Iman untuk Pengungsi Rohingya, di Jakarta, Kamis (21/5) pagi.

 

“Pemerintah harus membuat inisiatif agar ASEAN menghilangkan kebijakan terkait batasan intervensi antar sesama negara anggota. Kita juga mendesak pemerintah Indonesia agar mengirim pesan yang cukup tegas kepada pemerintah Myanmar menyelesaikan permasalahan ini, karena masalah ini sudah berdampak bagi negara-negara tetangganya, terutama negara-negara ASEAN,” ujar Yenny.

 

Puteri keempat Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid ini mengatakan diskriminasi yang terjadi pada etnis Rohingya sudah mengarah pada state sponsored discrimination, karena itu negara juga yang harus mencari solusinya.

 

“Dan persoalan ini sudah mengakibatkan adanya spill over effect ke negara-negara lain di ASEAN, karenanya negara-negara ASEAN harus mendesak pemerintah Myanmar mencari solusi yang humanis dan permanen,” sebut Yenny lagi.

 

Di sisi lain, Yenny mengatakan elemen-elemen masyarakat sipil di Indonesia mendorong pemerintah segera mencari solusi yang lebih konprehensif, terutama mengeluarkan payung hukum yang mendukung solusi-solusi lebih permanen atas penanganan pengungsi dari negara asing.

 

“Kami juga mendukung kebijakan pemerintah yang saat ini menekankan sisi kemanusiaan dalam memperlakukan pengungsi Rohingya. Kami juga mendukung pemerintah yang bersedia untuk sementara menampung para pengungsi tersebut.”

 

“Kami juga mengapresiasi sikap masyarakat Aceh, yang tanpa ragu memberikan pertolongan kepada pengungsi Rohingya yang terapung-apung di lautan, lalu mengobati dan memberi makan para pengungsi tersebut,” kata Yenny.