28
Jan 2015

Gerakan Keagamaan dalam Dimensi Sosial

CENDEKIAWAN Muslim Nahdlatul Ulama (NU), Dr. Asep Salahudin, menyerukan kaum muda kembali memikirkan gerakan keagamaan dalam dimensi sosial.

 

“Teman-teman di NU mesti lebih kreatif dalam beraktivitas, terutama pada kegiatan sosial karena masyarakat Indonesia sekarang mengalami kemajuan, tetapi sekaligus kesenjangan. Ada sekian banyak kemajuan, tapi sekaligus banyak kesenjangan dan itu kita saksikan banyak orang-orang lemah, kaum dhuafa yang tak mendapat perhatian,” tutur Pengurus Lakspesdam Jawa Barat ini kepada Wahid Institute, pekan lalu.

 

Menurut Asep, gerakan kenabian itu adalah gerakan kewargaaan. Yang pertama kali dilakukan bukan membangun politik-daulah tapi menghadirkan masyarakat warga yang dalam idiom al-Quran disebut ummah. Ummah sebagai simpul komunitas yang memiliki kesadaran terhadap hak dan kawajiban sebagai warga dan pada gilirannya bergerak bersama-sama mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan.

 

“Dan kita butuh Civic-Islam karena bagaimanapun pembangunan kebangsaan selalu terikat dengan perkotaan. Kota itulah yang nantinya akan membawa kebaikan jika memang terdapat kebaikan yang bisa dipetik lingkungan lainnya,” terangnya.

 

Asep Salahudin, yang belakangan ini terlibat aktif menggagas gerakan Civic-Islam, punya harapan pada generasi muda NU di Jawa Barat dan Indonesia karena sumberdaya NU sangat banyak.

 

“Kelas sosialnya banyak yang tinggi, kelas ekonominya juga lumayan banyak yang makmur, kecermelangan memahami Islamnya juga banyak yang bagus, tapi belum tentu kompak untuk pengabdian sosial,”paparnya.

 

“Kami menginisiasi, bukan menggurui, kami bekerja bukan berdakwah lisan semata, dan karena kita sadar setiap hal butuh kerjasama, maka di situlah pentingnya kita berjamaah untuk kemajuan bangsa,” katanya.

 

Dengan Civic-Islam yang sedang dijalankan tersebut, Asep berharap nanti pada teman-teman generasi muda, baik di Muhammadiyah, NU, Persis, PMII, GP Ansor, HMI, KAMMI, HTI dan lain-lain memiliki semangat perjuangan untuk kebangsaan, bukan untuk golongan masing-masing.

 

"Sekarang kita butuh butuh sumberdaya manusia yang memiliki kesadaran profetik untuk mengurus mereka yang lemah," jelasnya. [Yusuf Mahmud]

 
15
Jan 2015

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

JAKARTA - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan kebebasan pers mestinya dilakukan dengan tetap menghormati keyakinan umat beragama, termasuk umat muslim yang tidak boleh menggambar wujud fisik Nabi Muhammad SAW.


Pernyataan tersebut disampaikan Menag Lukman Hakim Saifuddin melalui siaran persnya yang dikirim Kamis (15/01) pagi, menyikapi terbitnya Charlie Hebdo di Prancis edisi Karikatur Nabi. Menag saat ini masih berada di Tanah Suci, Saudi Arabia, guna menemui beberapa pejabat kementerian haji setempat.

Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan, kasus terjadinya penembakan atas sejumlah wartawan di Paris haruslah benar-benar menjadi pelajaran semua pihak. Peristiwa itu jangan sampai disikapi dengan hal-hal yang malah menimbulkan reaksi balik yang memperkeruh keadaan.

"Reaksi emosional dengan menggalang kekuatan dengan cara membuat karikatur besar-besaran sebagai bentuk dukungan dan wujud simpati atas tewasnya insan media justru bisa timbulkan reaksi balik yang lebih keras yang sama sekali tak diharapkan," tulis Menag.

Selain itu, Menag juga meminta semua pihak, khususnya umat Islam untuk menahan diri.

"Bahwa sebesar apa pun kekecewaan dan amarah kita atas penghinaan seseorang terhadap keyakinan kita, tidak lantas membolehkan kita untuk main hakim sendiri dengan tindak kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain," ia menambahkan.

"Rasulullah SAW menyontohkan saat dihina dan dilecehkan orang kafir, beliau justru mendoakan orang yang menghinanya itu, bukan membalas dengan kekerasan, apalagi membunuhnya," katanya menjelaskan.

Terkait dengan kejadian itu, Menag mengimbau semua silang sengketa mestinya diselesaikan dengan menempuh jalur hukum di pengadilan.

"Itulah cara beradab, bukan dengan main hakim sendiri, apalagi dengan menumpahkan darah sesama kita," tegasnya.

Umat Islam Indonesia, imbau Menag, tidak perlu terprovokasi dengan aksi tidak simpatik.

"Muslimin Indonesia harus tunjukkan bahwa esensi ajaran Islam adalah memanusiakan manusia, bukan justru menistanya," jelasnya.


Sumber: Republika

 
07
Jan 2015

Pengungsi Syiah di Sampang (Foto TEMPO)

 

DIREKTUR The Wahid Institute Zannuba Arifah Chafsoh Wahid atau Yenny Wahid menyatakan, pihaknya merekam peristiwa-peristiwa yang terkait KBB selama 2014. Sebagian temuan merupakan kasus lama atau menahun yang tidak terselesaikan.

 

’’Kami tidak bisa menyimpulkan peristiwa-peristiwa pelanggaran KBB hanya terjadi di wilayah itu. Keterbatasan jaringan yang kami miliki mengakibatkan wilayah lain tidak terpantau dengan maksimal,’’ ujar Yenny dalam keterangan pers di kantor The Wahid Institute, Jakarta, Senin (29/12).

 

Sebanyak 18 wilayah yang menjadi cakupan Wahid Institute meliputi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Maluku Utara, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, dan Papua.

 

Total temuan pelanggaran KBB sepanjang 2014 adalah 158 kasus. Putri kedua mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu menyebut, dari sisi pelaku, negara sebagai aktor pelanggaran KBB tercatat di 80 kasus. Di 78 kasus lainnya dilakukan aktor non-negara. Keterlibatan negara muncul karena pemerintah setempat atau aparat keamanan ikut mengambil keputusan saat pelaku intoleran melaporkan kelompok minoritas yang dinilai mengganggu lingkungannya.

 

’’Secara umum, angka pelanggaran KBB ini menurun. Pada 2013, The Wahid Institute mencatat 245 kasus. Namun, angka ini tidak menunjukkan adanya peningkatan tanggung jawab negara dalam menyelesaikan masalah mendasar dari KBB,’’ kata mantan Sekjen DP PKB tersebut.

 

Yenny menyatakan, turunnya angka pelanggaran KBB bisa disebabkan berbagai faktor. Pada 2014, terjadi momen pemilu legislatif dan pemilu presiden. Isu intoleransi tidak menjadi fokus utama pemberitaan media massa, di mana salah satu sumber riset The Wahid Institute berasal dari situ. ’’Hal ini mengakibatkan isu kebebasan beragama menjadi berkurang,’’ ujarnya.

 

Yenny mengungkapkan, kontribusi pemerintah sebagai aktor pelanggaran KBB terlihat dari masih banyaknya ratusan perundang-undangan yang diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi, serta belum adanya penegakan hukum yang fair dan adil. Sejumlah aktor non-negara yang menjadi pelaku pelanggaran KBB juga tidak diselesaikan sesuai hukum yang ada.

 

’’Hingga saat ini, ratusan warga Syiah dan Ahmadiyah masih menjadi pengungsi, setelah keyakinan mereka ditolak warga di kampung halaman mereka,’’ ujarnya istri politikus Gerindra Dhohir Farizi itu.

 

Yenny menyatakan, selama era pemerintahan SBY, sudah ada sejumlah langkah yang dilakukan. Kini, di era pemerintahan Joko Widodo, Yenny mencatat betul ada visi misi dalam nawa cita yang ingin menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan. Pemerintahan Jokowi juga berjanji memberikan jaminan perlindungan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta melakukan langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.

 

’’Janji tersebut harus betul-betul dibuktikan dalam bentuk tindakan nyata. Sejauh ini, belum ada kebijakan langsung atas keduanya,’’ kata alumnus Harvard’s Kennedy School of Government tersebut.

 

Wakil Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat di tempat yang sama menyatakan, fakta-fakta yang ditemukan The Wahid Institute terkonfirmasi oleh Komnas HAM. Imdadun menilai, pelanggaran KBB terjadi karena ada kecenderungan negara memihak kepada kelompok yang dominan, dibanding kelompok minoritas yang memiliki agama/kepercayaan yang spesifik. ’’Apa yang terjadi selama ini cenderung bukan menangkap pelaku kekerasan, tapi menangkap si korban,’’ kata Rahmat.

 

Menurut Rahmat, dari sisi non-negara, inisiatif kekerasan muncul dari kelompok dominan. Mereka melakukan kekerasan kepada korban, mendemo pemerintah daerah, kemudian terjadi lobi. ’’Actor state (pelaku negara, Red) kemudian tersandera, memaksa pemerintah melakukan penyegelan, pembubaran, seperti menjalankan order dari kelompok non pemerintah,’’ kata Rahmat.

 

Rahmat menilai, catatan tersebut harus menjadi evaluasi dan perbaikan bersama. Dia meminta kepada seluruh pihak untuk mengawasi perilaku elite politik dalam memperlakukan kelompok intoleran. Kelompok minoritas yang menjadi korban diharapkan bisa memperkuat dirinya. ’’Saya sedih melihat elite politik menggandeng kelompok intoleran. Yang terjadi kemudian adalah impunitas terhadap kelompok tertentu,’’ ujarnya.

 

Salah satu ironi pelanggaran KBB adalah sulitnya pendirian rumah ibadah di wilayah tertentu. Kasus GKI Yasmin di Bogor bisa menjadi contoh. Menurut Rahmat, hal itu merupakan sebuah ironi. ’’Kita hidup di negara Pancasila. Namun, mendirikan night club dan diskotek lebih mudah daripada pendirian rumah ibadah,’’ jelasnya.

 

Rahmat menambahkan, salah satu kesalahan negara saat ini adalah kewajiban sebuah negara untuk membela agama. Paradigma itu keliru. Sebab, negara seharusnya melindungi hak warga negaranya dalam hal kebebasan beragama dan memeluk keyakinan.

 

’’Kita perlu bahwa negara tidak menempatkan diri sebagai pembela agama. Negara tidak bisa secara langsung membatasi, bahkan melarang, terhadap sebuah keyakinan/agama,’’ tegasnya. (trimujokobayuaji/c17/tom)

 

Dikutip dari Jawa Pos


 
22
Des 2014

 

Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan bahwa pemberian ucapan Natal kepada masyarakat nasrani tidak akan melunturkan keyakinan yang dimiliki seseorang. "Kita, kan, harus percaya diri dengan keyakinan kita. Ucapan Natal tidak melunturkan keyakinan seseorang, kan," katanya, saat dihubungi, 20 Desember 2014.



Yenny mengatakan setiap orang memiliki hak untuk memiliki keyakinannya masing-masing. Ia pun meyakini dalam kitab suci, Tuhan sudah menuliskan bahwa akan ada banyak perbedaan suku, tradisi, dan keyakinan.



Yenny sendiri meyakini bahwa jalan kebenarannya adalah melalui agama Islam. Dengan mengucapkan Natal, ia menghormati kaum nasrasi yang meyakini jalan kebenarannya masing-masing. "Aqidah kita, kan, tidak akan luntur karena ucapan Natal. Memang FPI aqidahnya luntur, ya, dengan mengucapkan natal?" katanya



Menurut putri Mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini, Indonesia adalah negara mayoritas Islam di dunia. Karena itu, Indonesia harus bisa mengayomi warga yang memiliki keyakinan minoritas.


Hal itu sama dengan kelompok masyarakat muslim yang diayomi oleh masyarakat negara nonmuslim di negara lain. "Indonesia harus memberikan cerminan kepada dunia dengan kelembutan dan kedamian. Muslim Indonesia harus jadi inspirasi bagi yang dunia," katanya. (Baca : Ucapan Natal, Yenny Wahid: Jokowi Jangan Dengar FPI)



Sebelumnya, Presiden Joko Widodo akan menghadiri Perayaan Natal Nasional di bumi cendrawasih, Papua, pada 27 Desember 2014. Ketua Dewan Syura Front Pembela Islam Misbachul Anam meminta Presiden Joko Widodo tidak mengucapkan selamat Natal. Sebab, kata Misbach, Jokowi murtad atau keluar dari Islam, jika mengucapkan selamat kepada umat Kristiani yang merayakan momen kelahiran Yesus Kristus tersebut.



"Haram hukumnya mengucapkan selamat Natal bagi orang Islam. Tak terkecuali bagi Presiden Jokowi," kata Misbach, Kamis, 18 Desember 2014.



Misbach mengatakan ucapan Natal membuat orang Islam murtad, karena berarti mengakui eksistensi agama lain. Sebab, Natal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kelahiran Yesus Kristus. "Jadi, ketika ada orang Islam yang mengucapkan Natal, artinya mereka memberi selamat atas kelahiran Yesus," ujarnya.

 

Sumber : Tempo.co | Sabtu, 20 Desember 2014 | 13:17 WIB

 
15
Des 2014

Undang-undang (UU) Nomor 1/PNPS Nomor 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama memakan korban baru. Pemimpin Redaksi (Pemred) 'The Jakarta Post' Meidyatama Suryodiningrat (MS) ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Metro Jaya berdasarkan UU kontroversial tersebut.

 

Penetapan tersangka ini karena 'The Jakarta Post' edisi 3 Juli 2014 dianggap menghina Islam. Terbitan koran berbahasa Inggris hari itu memuat kartun yang mencantumkan tulisan Arab La ilaha illallah yang berarti "Tidak ada Tuhan selain Allah" pada sebuah gambar tengkorak khas bajak laut.

Lewat siaran pers, Meidyatama menyangkal tuduhan pihak penyidik Polda Metro Jaya bahwa dia telah menistakan agama atas kartun di koran yang dipimpinnya tersebut.

"Karena sesungguhnya yang kami lakukan itu adalah kerja jurnalistik, yang mengkritik gerakan ISIS, yang kemudian menjadi organisasi yang dilarang pemerintah," ujar dia.

Bahkan, kata Meidyatama, pihaknya sudah menerima pendapat dari Dewan Pers yang menyatakan bahwa hal ini sebenarnya hanya terkait dengan kode etik jurnalistik. "Tidak termasuk tindak pidana," kata Meidyatama.

Jika melihat ke belakang, UU ini sebenarnya suda pernah digugat pada 2010 lalu oleh beberapa koalisi LSM dan perseorangan. Mereka adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. Sementara lembaga yang mengajukan uji materi adalah Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI .

Mereka berpendapat UU tersebut diskriminatif karena merupakan pengutamaan terhadap enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu dan mengecualikan beberapa agama dan aliran keyakinan lainnya yang juga berkembang.

Namun, permohonan uji materi tersebut akhirnya ditolak MK yang kala itu masih dipimpin Mahfud MD. Pada 2013 atau tiga tahun setelahnya, UU ini juga pernah digugat kembali oleh pimpinan Syiah Sampang, Tajul Muluk. Akan tetapi, lagi-lagi UU lawas itu tetap dipertahankan oleh MK di bawah kepemimpinan Akil Mochtar.

Karena masih bertahan, UU ini pun terus menjerat korban. Peneliti dari The Wahid Institute Muhammad Subhi mengatakan, UU ini sudah memenjarakan banyak orang yang dianggap bersalah menodai atau menistakan agama.

"Selama 10 tahun terakhir, sudah ada 100 orang ditahan," ujar Subhi salam suatu kesempatan. []

Sumber: merdeka.com | Jumat, 12 Desember 2014 09:07