01
Apr 2015

 

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anak muda menjadi ujung tombak sebagai generasi penerus yang menciptakan kerukunan dan kedamaian antaragama di Indonesia. Inilah cita-cita besar PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), PKN (Protestant Kerk in Netherland) dan SAG (Sinode AM Gereja-gereja) Sulutteng, sehingga mereka mengadakan Interfaith Young Camp atau Kemah Lintas Agama di Minahasa, Sulawesi Utara, pada 16—20 Maret pekan lalu.

 

Bagi Ahmad Nurcholish, fasilitator utama acara ini, perhelatan Kemah Lintas Agama merupakan kegiatan yang sangat menarik dan menyenangkan. Adapun sebanyak 150 anak muda dari seluruh Indonesia dengan latar belakang agama yang berbeda dikumpulkan untuk membahas berbagai persoalan dan dinamika kehidupan beragama di tanah air.

 

“Sebagian besar pesertanya pemuda Kristen dan Islam, namun Katolik, Konghucu, Hindu dan Buddha juga ada.” ujar Nurcholish kepada satuharapan.com, Senin (23/3).

 

Adapun lembaga kepemudaan yang mengikuti perkemahan lintas agama ini adalah organisasi pemuda GMIM, GPdI, GMIST, GPIG, GKLB, GBKP, GKJ, GMIBM, GPIBT, GMIH, GKST, Nadhatul Ulama (NU) Sulut, GERMITA, Pemuda Mesjid Sulut, Mahasiswa Muslim IPDN Kampus Sulut, Pemuda Konghucu, Mahasiswa UKIT Tomohon, UPK Kristen Unsrat, PGI Wilayah Sulselbar, Mahasiswa Hindu IPDN Kampus Sulut, Pemuda Anshor, PMII,  GKBP Bandung, GPIB Makasar, GKJW, Pemuda FKUB Sangihe, Depera PGI, Remaja Mesjid, dll.

 

Kegiatan yang digelar selama lima hari ini menjadi wadah pertukaran pikiran bagi para pemuda dalam menanggapi isu-isu hubungan antaragama di Indonesia, khususnya isu pernikahan beda agama.

 

Selain dalam bentuk diskusi, terdapat pula kegiatan olah raga bersama, outbond, dan malam api unggun guna mempererat keakraban para peserta.

 

Nurcholish mengaku, awalnya pemikiran para peserta mengenai isu perbedaan agama agak tertutup. Namun, melalui acara ini, ia melihat ada banyak perubahan. Mereka menjadi bisa menerima perbedaan dan kepelbagaian yang ada pada agama orang lain.

 

“Dengan perubahan tersebut, diharapkan pertalian dan persaudaraan di antara mereka semakin akrab dan dekat, meski secara geografis jarak berjauhan,” katanya.

 

Ia pun berharap, anak-anak muda tersebut tidak hanya berperan sebagai duta toleransi dan perdamaian, tetapi juga mampu menginspirasi pemuda-pemudi lainnya di seluruh Indonesia.

 

Untuk itulah, para peserta dan fasilitator menyusun RTL (Rencana Tindak Lanjut) demi memperluas gerakan toleransi dan kerukunan di daerah asal masing-masing kontingen. Misalnya, Pengurus Pemuda Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dan Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud (GMIST) berencana menghelat program lintas agama dengan skala yang lebih majemuk lagi, seperti perkemahan pemuda, pelatihan jurnalistik damai, pelatihan menulis, dan program Peace in Diversity (PiD) yang meliputi kunjungan ke rumah-rumah ibadah, menulis refleksi, dan live in bersama.

 

Selain melibatkan Ahmad Nurcholish sebagai fasilitator, acara ini juga menggandeng beberapa narasumber, seperti Pendeta Dr. Suwignyo asal Malang, Pendeta Retno Ratih dari Gereja Kristen Jawa Klaten dan Alamsyah M. Dja'far, peneliti The Wahid Institute.

 

Para peserta diberi pengetahuan seputar realitas kemajemukan agama dan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk membahas kelompok fundamentalis Islam dan Kristen.

 

Diakui Nurcholish, unsur kemajemukan acara ini masih didominasi oleh Kristen dan Islam. Oleh sebab itu, pada kegiatan serupa berikutnya, kontribusi dari pemuda Hindu, Budha, dan Konghucu sangat diharapkan sehingga kemajemukannya lebih terasa.

 

Dimuat di SATU HARAPAN

 
28
Mar 2015

 

SURABAYA - Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemantauan dan pelaporan dinamika Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan kasus-kasus intoleransi di Indonesia, The Wahid Institute melaksanakan sosialisasi program M-Pantau di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Sosialisasi ini melibatkan sejumlah pegiat LSM dan relawan.

 

M-Pantau merupakan program pemantauan dan pelaporan KBB dengan menggunakan teknologi SMS gateway yang terintegrasi. Program ini merupakan inisiasi The Wahid Institute yang didukung oleh Cipta Media Selular (CMS).

 

Sosialisasi pertama di Jawa Timur dilaksanakan di Kota Surabaya, Rabu (25/3) siang, dengan melibatkan relawan dari komunitas Gusdurian, Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), Pusat Studi HAM (Pusham) dan perwakilan pemuda lintas agama.

 

Di Malang, sosialisasi dilaksanakan pada Jumat (27/3) sore, di Gus Dur Corner Universitas Islam Raden Rahmat. Di sini, sosialisasi dihadiri relawan dari Gusdurian Malang, guru, dosen dan perwakilan warga.

 

“Sosialisasi ini dilaksanakan untuk menggugah masyarakat, terutama teman-teman lembaga jaringan di Jawa Timur, agar turut berpartisipasi bersama-sama memantau dan melaporkan dinamika kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di lingkungan sekitar,” ujar Gamal Ferdhi, Program Officer The Wahid Institute.

 

“Dinamika yang dilaporkan bukan hanya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kasus intoleransi atau diskriminasi, tapi juga praktik baik dalam kerukunan umat beragama,” sebut Gamal.

 

Gamal mengimbau masyarakat untuk aktif berpartisipasi memantau dan melaporkan kasus KBB dan praktik baik kerukunan umat beragama, baik melalui SMS M-Pantau di nomor 082120001900, melalui website www.pantaukbb.org atau surat elektronik ke Alamat surel ini dilindungi dari robot spam. Anda perlu mengaktifkan JavaScript untuk melihatnya . [rel]

 
20
Mar 2015

Pelatihan Keuangan Keluarga

 

JAKARTA - Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid, meminta ibu-ibu di RW III Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, konsisten dalam menjalankan usaha kecil yang ditujukan untuk menopang perekonomian keluarga. Konsisten, menurut Yenny, adalah salah satu kunci sebuah usaha bisa berhasil.

 

Yenny menyampaikan ini saat menjadi motivator dalam “Pelatihan Keuangan Keluarga” bagi ibu-ibu warga Matraman Luar, di Aula The Wahid Institute, Jumat (20/3) petang.

 

“Ibu-ibu harus konsisten. Contoh kecilnya, kalau ibu-ibu punya usaha jahitan, kualitasnya harus dijaga. Kalau ada pesanan 100 baju, jangan yang bagusnya hanya di jahitan pertama sampai ketiga, lalu yang sisanya asal-asalan. Ini namanya nggak konsisten. Kalau begini, nanti ibu-ibu bisa ditinggal oleh pelanggan,” ujar Yenny, memberi contoh.

 

Puteri keempat Presiden Abdurrahman Wahid ini juga berpesan agar ibu-ibu bisa lebih baik mengelola keuangan keluarga. “Ibu-ibu harus pintar menjaga alur keuangan di rumah. Cara sederhananya, ditulis saja daftar prioritas. Apa saja kebutuhan yang paling mendesak dalam waktu dekat, jangka menengah, juga jangka panjang. Ini akan memudahkan,” ujar Yenny.

 

Desainer kondang, Amy Atmanto, yang mendampingi Yenny Wahid dalam pelatihan itu, juga memotivasi ibu-ibu warga Matraman luar untuk lebih gigih dalam berusaha. Ia berbagi pengalaman, soal bagaimana dirinya memulai usaha dari titik nol hingga kini ia memiliki butik yang terkenal hingga mancanegara.

 

“Jika saya bisa, ibu-ibu di sini juga pasti bisa. Nggak harus buat butik. Saya yakin, jika digeluti dengan serius semua usaha yang sudah dijalankan ibu-ibu pasti akan berhasil nantinya, kata Amy. [wi]

 
18
Mar 2015

Oleh Betriq Kindy Arrazy

 

Tuhan, ampunilah mereka. Karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,Patricia berdoa

 

PADA 19 Februari 2015, suara takbir bernada setengah teriak terdengar di salah satu gang Kampung Kadipaten Wetan, Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta. Sekumpulan anak muda berjumlah diatas sepuluh orang, mendatangi rumah salah seorang warga yang sedang mengadakan Misa Memule. Dalam tradisi keagamaan umat Katholik di Jawa, Memule merupakan peringatan orang yang sudah meninggal dunia yang diadakan pada waktu-waktu tertentu. Malam itu adalah peringatan setahun meninggalnya Sri Muryati, salah seorang warga Kampung Kadipaten Wetan.

 

Berdasarkan kondisi tersebut, perwakilan jamaah mengadakan pembicaraan terkait maksud kedatangannya. Tidak ada perusakan, bahkan tindakan anarkis. Pembicaraan dilakukan secara baik-baik. Salah seorang Babinsa yang turut menjaga, menyarankan agar lokasi Misa segera dipindahkan. Pihak tuan rumah menyepakati Misa dipindahkan di rumah Yoga Sarjono, salah seorang warga Kadipaten Wetan. “Mereka dan kami membicarakannya secara baik-baik. Setelah itu ya sudah kami mengalah saja (pindah-red),” ujar Danang Jaya salah seorang saksi.

Rumah Sri Muryati, lokasi awal Misa Memule.

Rumah Sri Muryati, lokasi awal Misa Memule.

***

 

 

PUKUL 16.30 WIB, Agus Subiyanto, Ketua RW 08 meninggalkan rapat kelompok “Jahe Merah.” Kelompok ini memiliki kegiatan utama dalam hal pembudidayaan jahe merah. Beranggotakan 24 orang dari keluarga miskin. Ia bergegas ke rumah karena salah seorang warga Kadipaten Wetan ingin menyampaikan pengaduan sekaligus sikap keberatan.

 

“Di depan masjid,” ungkap sang warga setelah ditemui dan ditanyakan. Agus tidak tahu kalau malam hari itu akan ada Misa Memule di rumah Sri Muryati. Tepat di seberang rumah Sri Muryati terdapat Masjid Mulyo Utomo. Keduanya dipisahkan oleh gang dengan lebar dua meter. Masjid ini berdiri tahun 1985, di atas lahan seluas 300 m2. Lahan tersebut milik dua orang warga setempat bernama Mulyo dan Gino Utomo. Untuk mengenang hibah tanah tersebut, maka masjid tersebut diberikan nama Mulyo Utomo. Ketika ditelisik lebih dalam, tidak ada alasan lain, selain karena faktor lokasi. Karena Misa Memule diselenggarakan berada di wilayah RT 28, Agus bergegas mengkoordinasikan masalah tersebut kepada Turniasih Anggraini, Sekretaris RT 28.

 

“Masalahnya saya sendiri juga kaget. Karena selama ini belum pernah ada kejadian semacam itu,” ungkap Agus mengomentari kejadian itu. Menurut pengamatannya, sekelompok orang yang mendatangi rumah Sri Muryati bukan warga asli Kadipaten Wetan. Agus merasa heran, sejak dulu warga di wilayahnya tidak pernah saling mengganggu satu sama lain. Akibat dari kejadian tersebut, prestasi di RW yang dipimpinnya,  seperti juara 2 Gerakan 3P (Penghematan Air, Pendayagunaan Air, dan Pelestarian Air) tingkat DIY, didokumenterkan Pokmer Gentong (Kelompok Pemakai Air Gentong) oleh Kementerian Kesehatan, mewakili Kota Yogyakarta sebagai kota sehat, serasa tidak berarti. “Tidak ada artinya dengan kejadian itu. Seperti membalikan telapak tangan,” keluhnya.

 

Menurut pria yang tahun ini terpilih kembali menjadi Ketua RW 08, sudah menjadi kebiasaan warga Muslim dan non-Muslim di lingkungannya saling membantu setiap ada hajatan. Agus sendiri yang juga seorang Muslim, pernah menjadi perwakilan tuan rumah dari salah seorang warga non-Muslim yang meninggal dunia. Selain itu, biasanya kegiatan-kegiatan keagamaan warga non-Muslim berjalan dengan lancar. “Saya berharap dan mudah-mudahan untuk beliau-beliau yang non-Muslim tidak ada rasa trauma dan karena beberapa kali melakukan itu tidak ada masalah,” harapnya.

 

***

 

SEORANG wanita paruh baya tengah sibuk menyuapi cucunya di depan teras rumah. Wanita itu bernama Turniasih Anggraini, biasa dipanggil Asih. Di lingkungannya, ia mengemban amanah sebagai sekretaris RT 28. Ia mempersilakan saya memasuki rumahnya, sembari berkisah tentang awal mula kejadian malam itu.

 

“Bu, tanggal 19 Februari besok setahunnya ibuku,” ujar Lilik mengingatkan Asih. Lilik adalah salah anak Sri Muryati. Sebelum meninggal, ibunya berpesan agar didoakan di kampung halamannya. Sebelum Memule satu tahunnya Sri Muryati, Asih kerap membantu segala keperluan yang dibutuhkan tuan rumah. Jarak dari rumahnya sekitar 50 meter. Hal tersebut yang membuatnya sering mondar-mandir. Namun, karena malamnya Asih ada kegiatan serupa, ia tidak optimal membantu, hanya sekadar menyiapkan minuman, dikarenakan Asih harus mendatangi peringatan 100 hari meninggalnya suami temannya. Dirasa sudah cukup membantu, ia berpamitan pulang untuk bersiap-siap. Tak berselang lama, pukul 17.30 WIB, polisi bertamu di rumahnya.

 

“Bu, saya mau koordinasi,” ujar seorang polisi.

 

“Mau koordinasi apa?” tanya balik.

 

“Ini RT 28 RW 08 toh?” tanya ulang.

 

“Iya,” jawab singkat.

 

“Ibu rumahnya dimana?” tanya menelisik.

 

“Rumah saya di situ,” sembari menunjuk.

 

“Ibu apa?” tanya kembali.

 

“Saya sebagai sekretaris RT 28,” ungkapnya.

 

Asih tidak menyangka dirinya akan ditemui dua orang polisi dan satu orang intelijen dari Polsek Keraton. Pertemuan ini berlangsung menjelang magrib. Sekejap, saat itu juga ia diminta mengadakan koordinasi dengan Ketua RT 28, Ketua RW 08, Takmir Masjid Mulyo Utomo dan perwakilan tuan rumah. Karena Ketua RT 28 berhalangan hadir, maka Turniasih yang memimpin langsung koordinasi di rumahnya pada pukul 17.30 WIB.

 

Pertemuan ini merupakan respon dari pengaduan salah seorang warga ke Polsek Keraton dan Ketua RW 08, Agus Subiyanto. Pengaduan tersebut berisi tentang keberatannya diadakan Misa Memule di rumah Sri Muryati. Namun pada akhirnya, pertemuan itu menghasilkan sebuah keputusan agar Misa Memule tetap diadakan di tempat semula. Dimulai pukul 19.30 WIB atau setelah shalat Isya’.

 

Tidak berselang lama, Wagino, salah seorang Babinsa datang ke rumah Asih dan memberikan saran, “Bagaimana bila tempat Misanya digeser saja,” usulnya. Ini dikarenakan di seberang rumah tersebut terdapat Masjid Mulyo Utomo. Bila tetap dilanjutkan, pilihan terakhir akan ada yang membubarkan. Awalnya pihak tuan rumah merasa keberatan bila lokasi Misa Memule dipindahkan. Karena rumah yang ditempati, lebih dulu berdiri daripada Masjid Mulyo Utomo. Misa pun tetap dilanjutkan dengan tempat dan waktu yang sama. Dengan jaminan keamanan salah seorang polisi yang berjaga tidak jauh dari rumah.

 

***

 

SETIAP pukul 19.00 WIB, Yoga Sarjono mengadakan Doa Novena.  Dalam tradisinya, Doa Novena adalah doa permohonan. Dilakukan selama sembilan hari berturut-turut. Saat itu Yoga sedang mendoakan saudaranya dari Yogyakarta dan Solo yang sedang sakit. Pada tanggal 19 dan 21 Februari, waktu pelaksanaan Doa Novena sengaja dimajukan pada pukul 17.00 WIB. Dikarenakan dua hari tersebut akan diadakan Misa di dua warga Kadipaten. Salah satunya di rumah Sri Muryati. Tanggal 19 Februari adalah Doa Novena yang sudah berjalan untuk kelima kalinya. Di kampungnya, Yoga Sarjono adalah seorang Ketua Lingkungan, melingkupi Kadipaten Wetan dan Kadipaten Kulon. Tugas utamanya adalah menjembatani warga Katholik dengan gereja, bila ada warga yang ingin mengadakan sembahyangan atau doa-doa. Dilanjutkan dengan mensosialisasikan.

 

Pukul 18.00 WIB Doa Novena selesai. Yoga dipanggil ke rumah Asih. Warga yang mengikuti Doa Novena masih bercengkerama di rumahnya, sembari menunggu instruksi dari Yoga untuk kemudian dilanjutkan Misa Memule di rumah Sri Muryati. Di rumah Asih, ia sendiri baru menyadari, sebelum ia datang sudah ada pembicaraan dan tidak tahu topik masalah apa yang sedang dibahas. Hingga kemudian berujung tawaran pelaksaan Misa Memule di rumahnya. Walau kemudian pihak tuan rumah keberatan dengan tawaran dari Babinsa. “Mbok yang mau membubarkan itu yang dikasih tahu. Wong kita ini mau beribadah saja kok mau diganggu,” keluh Yoga yang masih belum mengetahui dari ormas mana yang akan membubarkan. Selama 60 tahun ia lahir dan dibesarkan di Kadipaten Wetan, baru kali ini ada kejadian penggerebekan.

 

“Pak, gimana? Sudah ditunggu ibu-ibu,” tanya Patricia Suhadia, istri Yoga.

 

“Iya. Saya pulang. Silakan kalau ibu-ibu mau berangkat Misa. Sudah ada jaminan dari Babinsa,” timpanya sembari menghabiskan rokoknya di rumah Asih.

 

Curiga yang melakukan pengamanan hanya satu orang. Tidak berselang lama, ibu-ibu berbondong-bondong menuju ke rumahnya. Babinsa tidak mampu membendung tekanan massa. Setelah ada pembicaraan dengan pihak-pihak terkait, Misa Memule dilanjutkan di rumah Yoga. Ruang tamu yang hanya berukuran 2,5 x 2,5 meter, beserta teras rumah berukuran 2,5 x 7 meter pun tidak mampu menampung warga yang ingin melakukan Misa Memule. Meski kemudian meminjam teras tetangga depan rumahnya.

 

“Bapak-bapak muda,” istilah dilontarkan oleh Patricia Suhadia, berbaris di depan gang rumahnya dengan lebar 1,5 meter sembari membawa payung, menjaga, juga mempersilakan ibu-ibu melakukan Misa Memule di dalam ruangan. Biasanya aktivitas sembahyangan atau doa dihadiri 20-30 orang, malam itu warga yang hadir mencapai 50 orang lebih. Jumlah ini termasuk anak-anak muda Katholik yang peduli keamanan selama Misa Memule berlangsung. “Janganlah mencari kesalahan orang lain, justru kita saja yang mengintrospeksi diri, supaya lebih hati-hati. Maka janganlah bersakit hati,” ujar Romo Fajar memotivasi warga. Romo Fajar mengibaratkan, bila pipi kiri ditampar, maka tawarkanlah pipi kanan.

 

Sejak kejadian pemindahan Misa Memule. Malam itu, polisi nampak berseliweran di sekitar Kadipaten Wetan. “Komandan, saya minta agar umat saya minta perlindungan di dalam kami beribadah. Tolong itu dijaga,” pinta Yoga kepada Kapolsek Keraton. Malam itu, warga yang pada berhamburan keluar rumah menanyakan keberadaan sang pelapor yang tidak muncul saat kejadian itu terjadi.

 

Patricia Suhadia

 

Patricia Suhadia yang di kampungnya juga sebagai Ketua Wanita Katholik (WK), tidak menyangka hal itu bisa terjadi. Ia sendiri tidak mempercayai kejadian itu dilakukan oleh warga Muslim di lingkungannya yang dikenal moderat terhadap perbedaan. Selama mengadakan pertemuan WK dalam waktu sebulan sekali, dengan agenda doa, pembacaan Injil dan perenungan belum sekali pun ada sikap keberatan atau bahkan sampai pemindahan.

 

“Aku kan sendiri takut mengadakan doa sendiri,” Patricia ketakutan untuk melanjutkan Doa Novena untuk yang keenam kalinya. Suaminya, Yoga mesti menjenguk saudaranya yang sedang menjalani operasi. Di ujung keberangkatannya, Yoga berpesan agak anak laki-lakinya menjaga ibunya meneruskan sisa Doa Novena di rumah.

 

Di lingkungan Kadipaten Wetan, sikap toleransi dan saling membantu antarwarga Muslim dan non-Muslim begitu kental. Saat warga Katholik melakukan sembahyangan dan doa. Atau sebaliknya saat warga Muslim melakukan pengajian. Satu sama lain membantu dalam hal urusan yang bersifat teknis. Misalnya, membantu penyediaan konsumsi, sampai kebutuhan barang yang akan digunakan.

 

Patricia kemudian teringat, sejak 100 harinya Sri Muryati sudah ada teguran yang dilayangkan ke Asih. “Bu Asih kalau sembahyangan mbok setelah Masjid selesai,” kenangnya. Sejak itu tidak berlanjut lagi. Menurutnya, pemindahan itu terjadi kemungkinan karena berdekatan dengan Masjid Mulyo Utomo. Sehingga meletusnya pada tanggal 19 Februari.

 

Sejak kejadian tersebut, Patricia merenungi ada hikmah yang  sekaligus menjadi harapannya. Pertama, anak-anak muda Katholik agar lebih rajin lagi mengikuti sembahyangan dan doa, sehingga tidak didominasi oleh orang-orang tua. Kedua, warga Kadipaten Wetan, antara Muslim dan non-Muslim lebih solid lagi menjaga keamanan dan kerukunan antarwarga, sekaligus melakukan instropeksi dan melakukan refleksi agar bisa hidup rukun dalam ruang perbedaan. “Tuhan, ampunilah mereka. Karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Patricia berdoa agar hal itu tidak terulang lagi di kampungnya.

 

Betriq Kindy Arrazy adalah penulis lepas, berdomisili Yogyakarata.

Tulisan ini dibuat utk Program m-Pantau KBB. M-Pantau KBB adalah program pemantauan berbasis telpon seluler yang dikembangkan The Wahid Institute atas dukungan Cipta Media Seluler. Laporan pemantauan dapat dikirim via SMS ke 082120001900 atau  Alamat surel ini dilindungi dari robot spam. Anda perlu mengaktifkan JavaScript untuk melihatnya . Hasil pemantauan lihat di www.pantaukbb.org.

 
20
Feb 2015

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

 

ORANG Tionghoa di Indonesia sedang menyambut hadirnya Imlek. Perayaan Tahun Baru Imlek 2566 pada 19 Februari 2015 ini menjadi bagian dari ekspresi kultural orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perayaan Imlek tidak hanya ramai diselenggarakan di kelenteng, namun juga menjadi ritual tradisi di masjid, gereja, bahkan sebagai kirab masal. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jogjakarta menyelenggarakan Imlek di Masjid Syuhada’. Orang-orang Tionghoa bersama warga pribumi Jawa di Surakarta bahkan menyelenggarakan Imlek dalam tradisi Jawa dengan ritual Grebeg Sudiro. Akulturasi tradisi ini menjadi jembatan untuk menegosiasikan ritual antar-sekat etnis dan agama.

Penyelenggaraan meriah tradisi Imlek tak lepas dari peran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada masa Soeharto, warga Tionghoa tidak boleh menampakkan ekspresi kultural dan religiusnya di panggung publik. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang menjadi produk hukum rezim Orde Baru, melarang segala hal yang berbau Tionghoa. Peristiwa tragis pada Mei 1998 menjadi puncak represi Soeharto, yang membawa korban bagi orang Tionghoa yang meninggal serta kehilangan rumah dan pekerjaan.

Ketika menjabat presiden, Gus Dur mencabut Inpres 14/1967, lalu menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Baru pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, mulai 2003 Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

Keberpihakan Gus Dur

Kebijakan Gus Dur membuka keran kebebasan budaya dan agama bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi penguasa Orde Baru. Peran Gus Dur tersebut mengembalikan eksistensi warga Tionghoa di Indonesia. Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali terangkat. Kebijakan Gus Dur itu menjadi bagian dari politik identitas untuk menciptakan harmoni keindonesiaan.

Atas sumbangsih Gus Dur, pada 10 Maret 2004 kelompok keturunan Tionghoa di Kelenteng Tay Kek Sie Semarang menahbiskan mantan presiden RI tersebut sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Secara garis besar, alasan penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dapat diteropong dari sejumlah sudut pandang: perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa, keteladanan Gus Dur dalam memperlakukan kelompok keturunan Tionghoa, serta sisi pelengkap yang masih berupa kontroversi, yaitu pengakuan Gus Dur sebagai keturunan Tionghoa, dari marga Tan (Ibad dan Fikri, 2012 : 123).

Penahbisan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa pada masa itu memang menjadi perdebatan. Ada yang mendukung, namun ada juga yang mencibir bahwa Gus Dur hanya mencari popularitas. Apalagi, jejaring komunitas dan ekonomi Tionghoa menjadi sangat penting di Indonesia, khususnya sebagai pendukung politik. Pendapat yang terakhir ini dapat dipatahkan. Sebab, pada kenyataannya, Gus Dur tak hanya memihak kelompok Tionghoa. Namun, secara luas dia juga berpihak kepada kaum lemah (mustadh’afin) dan pihak-pihak yang selama ini mengalami perlakuan marginal, lintas budaya dan agama.

Renungan Kemanusiaan

Pandangan Gus Dur dalam mendasari nilai universalismenya yang membuat berbeda dengan para pemikir dan pemimpin agama kebanyakan adalah dalam memahami ayat ”udkhuluha fi as-silmi kaffah” (QS Al Baqarah [2 : 208]). Berbeda dengan tokoh lain yang menganggap as-silmi sebagai ”Islam”, Gus Dur dalam hal ini memandang as-silmi kaffah sebagai kedamaian secara penuh, yang membawa pada keberadaan universal dan tidak perlu diterjemahkan pada sistem-sistem tertentu, termasuk kepada Islam. Karena ayat tersebut mengajak pada kedamaian umat manusia.

Lebih lanjut, Gus Dur (dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, 2006 : 4) dalam memandang keislaman lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar untuk menjadi ”muslim yang baik”. Sebagaimana diajarkan dalam ayat-ayat Alquran, ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi muslim yang baik: menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, dan kaum miskin), menegakkan profesionalisme, serta bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan. Dari perspektif inilah, keberpihakan Gus Dur kepada warga Tionghoa dapat dicari alasan rasional dan personalnya.

Keberpihakan dan visi kemanusiaan Gus Dur inilah yang selalu dikenang, terutama dalam penyelenggaraan Imlek tiap tahun. Visi kepemimpinan Gus Dur mampu menjadi pengayom bagi kelompok marginal. Orang-orang Tionghoa mengenang kiprah Gus Dur dengan memberikan penghormatan atas kebijakan politiknya. Imlek untuk mengenang Gus Dur merupakan penghormatan kepada pejuang kepentingan orang Tionghoa. Merenungi makna Imlek berarti juga merenungi perjuangan Gus Dur. Tak hanya sebagai bapak orang Tionghoa, namun juga bapak bangsa.

Ahok dan Gus Dur

Orang Tionghoa di Indonesia saat ini sudah diakui kontribusinya dalam pelbagai bidang, dari politik, hukum, kuliner, militer, hingga kesehatan. Bidang-bidang sosial dan profesional yang sebelumnya dianggap sebagai ruang tabu bagi orang Tionghoa saat ini sudah sangat terbuka. Pengakuan atas peran John Lie sebagai pahlawan Indonesia menjadi renungan berharga. John Lie menjadi salah seorang tokoh Tionghoa yang berjuang di bidang militer untuk membantu kemerdekaan negeri ini. Dengan demikian, ada bukti bahwa orang Tionghoa berjasa besar dalam menegakkan kemerdekaan di negeri ini.

Peran Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga menjadi menarik untuk direnungi. Ahok adalah pertaruhan karir politik orang Tionghoa di Indonesia pascareformasi. Meski ada beberapa tokoh Tionghoa di tingkat lokal yang menjadi bupati, wali kota, maupun anggota legislatif. Ahok menjadi cermin bagi kontribusi orang Tionghoa di bidang politik. Ahok mengaku berutang budi kepada Gus Dur, yang telah mendorongnya maju sebagai tokoh politik sejak di Belitung Timur.

Renungan Imlek bagi warga Indonesia adalah perayaan mengenang keragaman budaya negeri ini. Betapa indah jika keragaman tersebut dimaknai dengan pikiran jernih dan akal budi yang cerdas, bukan dengan prasangka. Pikiran jernih akan semakin menguatkan kohesi sosial antaretnis di negeri ini. Selamat Imlek 2566, Tahun Kambing Kayu! (*)

Munawir Aziz

 

Alumnus Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Pascasarjana UGM Jogjakarta, penulis buku Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara

 

Dimuat di Jawa Pos