18
Mar 2015
Oleh Betriq Kindy Arrazy

 

Tuhan, ampunilah mereka. Karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,Patricia berdoa

 

PADA 19 Februari 2015, suara takbir bernada setengah teriak terdengar di salah satu gang Kampung Kadipaten Wetan, Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta. Sekumpulan anak muda berjumlah diatas sepuluh orang, mendatangi rumah salah seorang warga yang sedang mengadakan Misa Memule. Dalam tradisi keagamaan umat Katholik di Jawa, Memule merupakan peringatan orang yang sudah meninggal dunia yang diadakan pada waktu-waktu tertentu. Malam itu adalah peringatan setahun meninggalnya Sri Muryati, salah seorang warga Kampung Kadipaten Wetan.

 

Berdasarkan kondisi tersebut, perwakilan jamaah mengadakan pembicaraan terkait maksud kedatangannya. Tidak ada perusakan, bahkan tindakan anarkis. Pembicaraan dilakukan secara baik-baik. Salah seorang Babinsa yang turut menjaga, menyarankan agar lokasi Misa segera dipindahkan. Pihak tuan rumah menyepakati Misa dipindahkan di rumah Yoga Sarjono, salah seorang warga Kadipaten Wetan. “Mereka dan kami membicarakannya secara baik-baik. Setelah itu ya sudah kami mengalah saja (pindah-red),” ujar Danang Jaya salah seorang saksi.

Rumah Sri Muryati, lokasi awal Misa Memule.

Rumah Sri Muryati, lokasi awal Misa Memule.

***

 

 

PUKUL 16.30 WIB, Agus Subiyanto, Ketua RW 08 meninggalkan rapat kelompok “Jahe Merah.” Kelompok ini memiliki kegiatan utama dalam hal pembudidayaan jahe merah. Beranggotakan 24 orang dari keluarga miskin. Ia bergegas ke rumah karena salah seorang warga Kadipaten Wetan ingin menyampaikan pengaduan sekaligus sikap keberatan.

 

“Di depan masjid,” ungkap sang warga setelah ditemui dan ditanyakan. Agus tidak tahu kalau malam hari itu akan ada Misa Memule di rumah Sri Muryati. Tepat di seberang rumah Sri Muryati terdapat Masjid Mulyo Utomo. Keduanya dipisahkan oleh gang dengan lebar dua meter. Masjid ini berdiri tahun 1985, di atas lahan seluas 300 m2. Lahan tersebut milik dua orang warga setempat bernama Mulyo dan Gino Utomo. Untuk mengenang hibah tanah tersebut, maka masjid tersebut diberikan nama Mulyo Utomo. Ketika ditelisik lebih dalam, tidak ada alasan lain, selain karena faktor lokasi. Karena Misa Memule diselenggarakan berada di wilayah RT 28, Agus bergegas mengkoordinasikan masalah tersebut kepada Turniasih Anggraini, Sekretaris RT 28.

 

“Masalahnya saya sendiri juga kaget. Karena selama ini belum pernah ada kejadian semacam itu,” ungkap Agus mengomentari kejadian itu. Menurut pengamatannya, sekelompok orang yang mendatangi rumah Sri Muryati bukan warga asli Kadipaten Wetan. Agus merasa heran, sejak dulu warga di wilayahnya tidak pernah saling mengganggu satu sama lain. Akibat dari kejadian tersebut, prestasi di RW yang dipimpinnya,  seperti juara 2 Gerakan 3P (Penghematan Air, Pendayagunaan Air, dan Pelestarian Air) tingkat DIY, didokumenterkan Pokmer Gentong (Kelompok Pemakai Air Gentong) oleh Kementerian Kesehatan, mewakili Kota Yogyakarta sebagai kota sehat, serasa tidak berarti. “Tidak ada artinya dengan kejadian itu. Seperti membalikan telapak tangan,” keluhnya.

 

Menurut pria yang tahun ini terpilih kembali menjadi Ketua RW 08, sudah menjadi kebiasaan warga Muslim dan non-Muslim di lingkungannya saling membantu setiap ada hajatan. Agus sendiri yang juga seorang Muslim, pernah menjadi perwakilan tuan rumah dari salah seorang warga non-Muslim yang meninggal dunia. Selain itu, biasanya kegiatan-kegiatan keagamaan warga non-Muslim berjalan dengan lancar. “Saya berharap dan mudah-mudahan untuk beliau-beliau yang non-Muslim tidak ada rasa trauma dan karena beberapa kali melakukan itu tidak ada masalah,” harapnya.

 

***

 

SEORANG wanita paruh baya tengah sibuk menyuapi cucunya di depan teras rumah. Wanita itu bernama Turniasih Anggraini, biasa dipanggil Asih. Di lingkungannya, ia mengemban amanah sebagai sekretaris RT 28. Ia mempersilakan saya memasuki rumahnya, sembari berkisah tentang awal mula kejadian malam itu.

 

“Bu, tanggal 19 Februari besok setahunnya ibuku,” ujar Lilik mengingatkan Asih. Lilik adalah salah anak Sri Muryati. Sebelum meninggal, ibunya berpesan agar didoakan di kampung halamannya. Sebelum Memule satu tahunnya Sri Muryati, Asih kerap membantu segala keperluan yang dibutuhkan tuan rumah. Jarak dari rumahnya sekitar 50 meter. Hal tersebut yang membuatnya sering mondar-mandir. Namun, karena malamnya Asih ada kegiatan serupa, ia tidak optimal membantu, hanya sekadar menyiapkan minuman, dikarenakan Asih harus mendatangi peringatan 100 hari meninggalnya suami temannya. Dirasa sudah cukup membantu, ia berpamitan pulang untuk bersiap-siap. Tak berselang lama, pukul 17.30 WIB, polisi bertamu di rumahnya.

 

“Bu, saya mau koordinasi,” ujar seorang polisi.

 

“Mau koordinasi apa?” tanya balik.

 

“Ini RT 28 RW 08 toh?” tanya ulang.

 

“Iya,” jawab singkat.

 

“Ibu rumahnya dimana?” tanya menelisik.

 

“Rumah saya di situ,” sembari menunjuk.

 

“Ibu apa?” tanya kembali.

 

“Saya sebagai sekretaris RT 28,” ungkapnya.

 

Asih tidak menyangka dirinya akan ditemui dua orang polisi dan satu orang intelijen dari Polsek Keraton. Pertemuan ini berlangsung menjelang magrib. Sekejap, saat itu juga ia diminta mengadakan koordinasi dengan Ketua RT 28, Ketua RW 08, Takmir Masjid Mulyo Utomo dan perwakilan tuan rumah. Karena Ketua RT 28 berhalangan hadir, maka Turniasih yang memimpin langsung koordinasi di rumahnya pada pukul 17.30 WIB.

 

Pertemuan ini merupakan respon dari pengaduan salah seorang warga ke Polsek Keraton dan Ketua RW 08, Agus Subiyanto. Pengaduan tersebut berisi tentang keberatannya diadakan Misa Memule di rumah Sri Muryati. Namun pada akhirnya, pertemuan itu menghasilkan sebuah keputusan agar Misa Memule tetap diadakan di tempat semula. Dimulai pukul 19.30 WIB atau setelah shalat Isya’.

 

Tidak berselang lama, Wagino, salah seorang Babinsa datang ke rumah Asih dan memberikan saran, “Bagaimana bila tempat Misanya digeser saja,” usulnya. Ini dikarenakan di seberang rumah tersebut terdapat Masjid Mulyo Utomo. Bila tetap dilanjutkan, pilihan terakhir akan ada yang membubarkan. Awalnya pihak tuan rumah merasa keberatan bila lokasi Misa Memule dipindahkan. Karena rumah yang ditempati, lebih dulu berdiri daripada Masjid Mulyo Utomo. Misa pun tetap dilanjutkan dengan tempat dan waktu yang sama. Dengan jaminan keamanan salah seorang polisi yang berjaga tidak jauh dari rumah.

 

***

 

SETIAP pukul 19.00 WIB, Yoga Sarjono mengadakan Doa Novena.  Dalam tradisinya, Doa Novena adalah doa permohonan. Dilakukan selama sembilan hari berturut-turut. Saat itu Yoga sedang mendoakan saudaranya dari Yogyakarta dan Solo yang sedang sakit. Pada tanggal 19 dan 21 Februari, waktu pelaksanaan Doa Novena sengaja dimajukan pada pukul 17.00 WIB. Dikarenakan dua hari tersebut akan diadakan Misa di dua warga Kadipaten. Salah satunya di rumah Sri Muryati. Tanggal 19 Februari adalah Doa Novena yang sudah berjalan untuk kelima kalinya. Di kampungnya, Yoga Sarjono adalah seorang Ketua Lingkungan, melingkupi Kadipaten Wetan dan Kadipaten Kulon. Tugas utamanya adalah menjembatani warga Katholik dengan gereja, bila ada warga yang ingin mengadakan sembahyangan atau doa-doa. Dilanjutkan dengan mensosialisasikan.

 

Pukul 18.00 WIB Doa Novena selesai. Yoga dipanggil ke rumah Asih. Warga yang mengikuti Doa Novena masih bercengkerama di rumahnya, sembari menunggu instruksi dari Yoga untuk kemudian dilanjutkan Misa Memule di rumah Sri Muryati. Di rumah Asih, ia sendiri baru menyadari, sebelum ia datang sudah ada pembicaraan dan tidak tahu topik masalah apa yang sedang dibahas. Hingga kemudian berujung tawaran pelaksaan Misa Memule di rumahnya. Walau kemudian pihak tuan rumah keberatan dengan tawaran dari Babinsa. “Mbok yang mau membubarkan itu yang dikasih tahu. Wong kita ini mau beribadah saja kok mau diganggu,” keluh Yoga yang masih belum mengetahui dari ormas mana yang akan membubarkan. Selama 60 tahun ia lahir dan dibesarkan di Kadipaten Wetan, baru kali ini ada kejadian penggerebekan.

 

“Pak, gimana? Sudah ditunggu ibu-ibu,” tanya Patricia Suhadia, istri Yoga.

 

“Iya. Saya pulang. Silakan kalau ibu-ibu mau berangkat Misa. Sudah ada jaminan dari Babinsa,” timpanya sembari menghabiskan rokoknya di rumah Asih.

 

Curiga yang melakukan pengamanan hanya satu orang. Tidak berselang lama, ibu-ibu berbondong-bondong menuju ke rumahnya. Babinsa tidak mampu membendung tekanan massa. Setelah ada pembicaraan dengan pihak-pihak terkait, Misa Memule dilanjutkan di rumah Yoga. Ruang tamu yang hanya berukuran 2,5 x 2,5 meter, beserta teras rumah berukuran 2,5 x 7 meter pun tidak mampu menampung warga yang ingin melakukan Misa Memule. Meski kemudian meminjam teras tetangga depan rumahnya.

 

“Bapak-bapak muda,” istilah dilontarkan oleh Patricia Suhadia, berbaris di depan gang rumahnya dengan lebar 1,5 meter sembari membawa payung, menjaga, juga mempersilakan ibu-ibu melakukan Misa Memule di dalam ruangan. Biasanya aktivitas sembahyangan atau doa dihadiri 20-30 orang, malam itu warga yang hadir mencapai 50 orang lebih. Jumlah ini termasuk anak-anak muda Katholik yang peduli keamanan selama Misa Memule berlangsung. “Janganlah mencari kesalahan orang lain, justru kita saja yang mengintrospeksi diri, supaya lebih hati-hati. Maka janganlah bersakit hati,” ujar Romo Fajar memotivasi warga. Romo Fajar mengibaratkan, bila pipi kiri ditampar, maka tawarkanlah pipi kanan.

 

Sejak kejadian pemindahan Misa Memule. Malam itu, polisi nampak berseliweran di sekitar Kadipaten Wetan. “Komandan, saya minta agar umat saya minta perlindungan di dalam kami beribadah. Tolong itu dijaga,” pinta Yoga kepada Kapolsek Keraton. Malam itu, warga yang pada berhamburan keluar rumah menanyakan keberadaan sang pelapor yang tidak muncul saat kejadian itu terjadi.

 

Patricia Suhadia

 

Patricia Suhadia yang di kampungnya juga sebagai Ketua Wanita Katholik (WK), tidak menyangka hal itu bisa terjadi. Ia sendiri tidak mempercayai kejadian itu dilakukan oleh warga Muslim di lingkungannya yang dikenal moderat terhadap perbedaan. Selama mengadakan pertemuan WK dalam waktu sebulan sekali, dengan agenda doa, pembacaan Injil dan perenungan belum sekali pun ada sikap keberatan atau bahkan sampai pemindahan.

 

“Aku kan sendiri takut mengadakan doa sendiri,” Patricia ketakutan untuk melanjutkan Doa Novena untuk yang keenam kalinya. Suaminya, Yoga mesti menjenguk saudaranya yang sedang menjalani operasi. Di ujung keberangkatannya, Yoga berpesan agak anak laki-lakinya menjaga ibunya meneruskan sisa Doa Novena di rumah.

 

Di lingkungan Kadipaten Wetan, sikap toleransi dan saling membantu antarwarga Muslim dan non-Muslim begitu kental. Saat warga Katholik melakukan sembahyangan dan doa. Atau sebaliknya saat warga Muslim melakukan pengajian. Satu sama lain membantu dalam hal urusan yang bersifat teknis. Misalnya, membantu penyediaan konsumsi, sampai kebutuhan barang yang akan digunakan.

 

Patricia kemudian teringat, sejak 100 harinya Sri Muryati sudah ada teguran yang dilayangkan ke Asih. “Bu Asih kalau sembahyangan mbok setelah Masjid selesai,” kenangnya. Sejak itu tidak berlanjut lagi. Menurutnya, pemindahan itu terjadi kemungkinan karena berdekatan dengan Masjid Mulyo Utomo. Sehingga meletusnya pada tanggal 19 Februari.

 

Sejak kejadian tersebut, Patricia merenungi ada hikmah yang  sekaligus menjadi harapannya. Pertama, anak-anak muda Katholik agar lebih rajin lagi mengikuti sembahyangan dan doa, sehingga tidak didominasi oleh orang-orang tua. Kedua, warga Kadipaten Wetan, antara Muslim dan non-Muslim lebih solid lagi menjaga keamanan dan kerukunan antarwarga, sekaligus melakukan instropeksi dan melakukan refleksi agar bisa hidup rukun dalam ruang perbedaan. “Tuhan, ampunilah mereka. Karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Patricia berdoa agar hal itu tidak terulang lagi di kampungnya.

 

Betriq Kindy Arrazy adalah penulis lepas, berdomisili Yogyakarata.

Tulisan ini dibuat utk Program m-Pantau KBB. M-Pantau KBB adalah program pemantauan berbasis telpon seluler yang dikembangkan The Wahid Institute atas dukungan Cipta Media Seluler. Laporan pemantauan dapat dikirim via SMS ke 082120001900 atau  Alamat surel ini dilindungi dari robot spam. Anda perlu mengaktifkan JavaScript untuk melihatnya . Hasil pemantauan lihat di www.pantaukbb.org.

5473
 

Add comment


Security code
Refresh