12
Agu 2014

Di luar persoalan konflik kawasan Israel-Palestina yang tak pernah usai, kini dunia dikejutkan dengan gerakan politik keagamaan baru yang tak kalah dahsyat.


Islamic State of Iraq-Syria (ISIS) kini menjadi momok baru yang menjadikan instabilitas politik Timur Tengah akan semakin lama. ISIS kini bukan hanya menguasai beberapa wilayah di Irak dan Suriah, tapi juga sudah menguasai satu wilayah di Libanon. Pertanyaannya, apayangperlu dikhawatirkan dengan perkembangan ini? Mengapa Pemerintah Indonesia menaruh kewaspadaan tinggi terhadap persoalan ini? Dua pertanyaan ini bisa dijelaskan panjang lebar. Namun, karena keterbatasan ruangan, penulis hanya akan memberi ulasan singkat atas dua pertanyaan tersebut. 

ISIS dan Terorisme 

Kebanyakan pengamat menilai, ISIS merupakan kelanjutan dari organisasi teroris, al- Qaeda. Ia bahkan lebih berbahaya dari al-Qaeda. Jika al-Qaeda lebih berkonsentrasi melawan Barat dengan melakukan aksi pengeboman, ISIS lebih jauh dari itu. Dengan dasar ideologi radikal yang kurang lebih sama, ISIS lebih berkonsentrasi untuk merebut dan menguasai wilayah politik. 

Penguasaan wilayah politik dan memproklamirkan sebuah khilafah islamiyah yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi, ISIS akan lebih leluasa untuk memasarkan dan mengimplementasikan ideologi Islamnya di satu pihak dan memperkuat sumber- sumber ekonomi dengan menguasai kilang-kilang minyak di pihak lain. Dengan demikian, jika ada yang berpendapat ISIS lebih berbahaya dari al-Qaeda, ada benarnya. Namun, bagi negaranegara Barat tingkat emergencynya tentu berbeda. 

Karena ISIS untuk sementara lebih berorientasi lokal, tidak menjadi ancaman langsung terhadap Barat meski dalam jangka panjang tentu akan menjadi ancaman serius bagi Barat, bukan saja soal keamanan, melainkan juga ekonomi. Apakah ISIS akan semakin memperluas wilayah kekuasaannya? Saya tidak terlalu yakin. Meskipun sebagian tentara ISIS adalah tentara profesional yang beberapa di antaranya pernah menjadi tentara andalan Saddam Husein, saya tidak yakin mereka akan mampu terus memperluas wilayah kekuasaannya. 

Mereka terus mampu mempertahankan kota-kota yang sudah dikuasai saja sudah cukup baik. Ke depan saya kira ISIS akan lebih berkonsentrasi mempertahankan wilayah daripada memperluas wilayah kekuasaan. Ada beberapa alasan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, hampir tidak ada negara di kawasan itu yang secara eksplisit memberi dukungan politik, finansial, dan persenjataan. 

Pemerintah Irak, Suriah, Libanon, dan negara-negara lain di sekitarnya juga tidak akan membiarkan ISIS akan terus memperluas kekuasaannya. Kedua, negara-negara Barat juga tidak ada yang secara terbuka memberi dukungan politik pada ISIS. Sekarang ini bahkan terjadi perubahan geopolitik yang arahnya justru mempertemukan negara-negara yang selama ini saling bermusuhan. Hubungan Amerika Serikat dan Iran yang selema ini sulit bekerja sama—bahkan saling bermusuhan— mulai membuka komunikasi untuk bergandeng tangan menangkal ISIS. 

AS dan Rusia yang biasanya berseberangan dalam menyikapi sejumlah persoalan di Timur Tengah tampaknya juga akan bergandengan tangan. Persoalan kekejaman Bashar al-Assad yang membantai ribuan warganya dengan dalih melumpuhkan pemberontak untuk sementara akan dilupakan. Bukan tidak mungkin, Bashar al-Assad akan mengambil keuntungan politik dari persoalan ISIS ini. Jika sebelumnya AS memusuhi Bashar al-Assad yang didukung Rusia dalam menghadapi pemberontak, sangat terbuka kemungkinan kini AS bersama-sama Rusia akan mendukung Bashar al-Assad untuk menghadapi ISIS. 

Ketiga, ISIS mengklaim mewakili politik Suni. Namun, ini tidak berarti mereka bisa menyatukan seluruh kekuatan politik Suni di kawasan Arab. Alihalih menyatukan kekuatan politik Suni secara internasional, menyatukan dalam satu kawasan saja akan sulit dilakukan. Perlawanan terhadap ISIS bukan saja dilakukan oleh penganut Syiah, melainkan juga di kalangan Suni sendiri. 

Ini terjadi karena ISIS mempunyai ukuran- ukuran ke-Suni-an sendiri. Atas dasar itu, ISIS tidak akan menjadi arus mainstream politik di Timur Tengah meski memusnahkan sama sekali juga bukan hal mudah. Kelompok ini akan terus ada meski tidak akan mampu melakukan ekspansi lebih masif. 

Konteks Indonesia 

Pemerintah Indonesia, melalui Menkopulhukam, sudah menyampaikan bahwa ISIS merupakan gerakan berbahaya yang harus diwaspadai, bertentangan dengan Pancasila, dan tidak diizinkan berkembang di Indonesia. Kepala BNPT Ansyad Mbai juga menyatakan ISIS sebagai organisasi teroris. Tokoh-tokoh agama, baik NU, Muhammadiyah, maupun MUI juga menyatakan bahwa ISIS tidak bisa diklaim sebagai gerakan Islam, apalagi Suni, tapi tak lebih sebagai organisasi politik yang menghalalkan kekerasan. 

Ada juga sejumlah kalangan yang mengusulkan pencabutan warga negara jika ada WNI yang berbaiat setia pada ISIS. Respons tersebut bisa dimaklumi karena Indonesia punya pengalaman panjang dengan persoalan kekerasan agama dan terorisme. Meski demikian, kemunculan baiat kesetiaan pada ISIS yang merebak di berbagai tempat harus disikapi dengan tenang, tidak perlu gugup, dan berlebihan. Usulan pencabutan warga negara, menurut saya, sebagai bentuk kegugupan yang berlebihan. Kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia yang memberi dukungan kepada ISIS sebenarnya tidak terlalu besar. Sel-sel gerakannya juga akan bisa dengan cepat diungkap. 

Simpul-simpulnya tidak berbedajauhdengangerakan radikal yang selama ini sudah diketahui. Beberapa kelompok yang selama ini dikenal radikal bahkan tidak semua menyetujui ISIS. FPI misalnya menyatakan ketidaksetujuannya dengan ISIS. Meski Abu Bakar Baasyir sebagai pimpinan Jammah Anshorut Tauhid (JAT) berbaiat pada ISIS, tidak semua komponen JAT setuju. Ponpes Ngruki yang dipimpin Abu Bakar Baasyir juga menyatakan tidak mendukung ISIS. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga tidak setuju dengan ISIS meski sama-sama punya ideologi khilafah. Itu menunjukkan, dilihat dari segi dukungan, tidak perlu terlalu ditakutkan. 

Baiat-baiat kesetiaan pada Khalifah ISIS Abu Bakar al-Baghdadi hanya akan menjadi gejala sesaat yang akan hilang dengan sendirinya. Namun, hal yang bisa dipastikan, pentolan-pentolan pendukung ISIS merupakan orang yang tingkat radikalisme sudah sampai di ujung, termasuk menafikan Indonesia yang negara Pancasila. Dengan demikian, persoalan ISIS ini tidak perlu dihadapi dengan berlebihan meski tetap penting memberi kewaspadaan tinggi. 

Dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang penting untuk mendapat perhatian. Pertama, dalam konteks gerakan radikal di Indonesia, ISIS hanyalah momentum untuk membangkitkan konsolidasi gerakan Islam radikal di Indonesia. Gerakan ini akan bisa membesar di Indonesia kalau terjadi instabilitas politik nasional. Sebagaimana di negeri asalnya, ISIS tumbuh dan berkembang karena ada instabilitas politik di Irak dan Suriah. Di sinilah pentingnya Indonesia tetap harus menjaga stabilitas politik pascapilpres untuk memastikan negara tetap berdiri kokoh untuk menghadapi segala bentuk ancaman. Kedua, pendukung ISIS di Indonesia bisa dipastikan adalah orang-orang yang menganggap Indonesia adalah negara kafir. 

Demokrasi dan nasionalisme adalah sistem kafir. HTI sebenarnya mempunyai paham yang sama. Mereka sama-sama mengidealisasi negara khilafah, namun menempuh jalan perjuangan yang berbeda. Jika ISIS seperti dilakukan di Irak dan Suriah berjuang dengan kekerasan dan perang, HTI lebih menempuh jalan damai. Namun, keduanya sama-sama anti-Pancasila yang perlu diwaspadai. Jika ada kesempatan politik, bukan tidak mungkin HTI dan ISIS akan bekerja sama. Ketiga, hal yang perlu diwaspadai adalah ada sejumlah warga Indonesia yang dikabarkan ikut bergabung dengan ISIS di Suriah. 

Sebagaimana alumni perang Afghanistan yang kemudian membentuk sel-sel teroris di Indonesia, orang-orang ini juga perlu diwaspadai. Pergerakan jaringan-jaringan ini bukan tidak mungkin akan membentuk pasukan perang di Indonesia, melakukan pelatihan-pelatihan militer di mana benih kelompok radikal seperti ini sudah ada di Indonesia. 

Terakhir, saya masih yakin, masyarakat muslim Indonesia adalah masyarakat yang moderat dan sulit menerima ideologi radikal seperti ditunjukkan ISIS, namun jika tidak dibendung, virus ideologi ISIS akan bisa merasuk ke mana-mana. Inilah yang harus mendapat perhatian bersama. ●

RUMADI
Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior the WAHID Institute

Tulisan ini juga dimuat di Koran Sindo

6825
 

Add comment


Security code
Refresh