07
Jan 2014
Dialog Imejiner dengan Gus Dur (II)

Oleh: Rumadi

Dialog bagian ini akan mengupas berbagai persoalan terkait ancaman ideologi bangsa. Ancaman itu kian nyata, tapi tak ada tindakan apapun terhadap mereka. Di pihak lain, bangsa ini justru sangat sensitif terhadap ancaman komunisme. Apa kata Gus Dur? Simak dialog imajiner berikut. Isi dialog ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

 



(RD) Assalamu’alaikum Gus Dur….


(Kali ini Gus Dur tidak langsung menjawab. Saya tidak tahu apakah Gus Dur sedang tidur atau apa. Beberapa saat saya menunggu di teras rumah, belum juga ada yang membuka pintu. Saya duduk sambil memandangi orang berlalu lalang di kompleks Pesantren Tebu Ireng. Sebagian duduk sambil berzikir, membaca yasin dan tahlil. Sesekali pimpinan rombongan ziarah memberi tahu ke jemaahnya: “Ini sarean Gus Dur. Ini sarean Mbah Hasyim, dan ini sarean Kiai Wahid Hasyim”, sambil menunjukkan makan dimaksud. Setelah lebih dari setengah jam …



(RD) Assalamu’alaikum Gus Dur…. (Kali ini saya melihat laki-laki tambun berjalan pelan sambil digandeng seseorang. Tapi saya tidak kenal siapa laki-laki yang menggandeng Gus Dur, bukan Sulaeman bukan juga Bambang yang biasa bersama Gus Dur. Laki-laki ini berwajah teduh, bersih dengan pakaian serba putih. “Oh, Alhamdulillah Gus Dur sudah miyos”, bisikku dalam hati.



(GD) ‘Alaikum salam….maaf ya Mas. Tadi saya baru ditimbali Mbah Hasyim. Kebetulan di sana tadi juga ada Bapakku, Kiai Wahid Hasyim. Jadi kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul. Alhamdulillah Mbah Hasyim sehat, bapak saya juga baik-baik saja.



(RD) Ada dawuh apa Gus dari Mbah Hasyim?



(GD) Mbah Hasyim prihatin saja dengan kehidupan bangsa yang semakin kehilangan orientasi. Mbah Hasyim sebenarnya ingin menyuruh saya untuk turun memimpin bangsa, tapi kondisi saya sudah seperti ini. Mbah Hasyim sih berharap agar NU tetap berdiri kokoh dan istiqomah mengawal negeri. Kata Mbah Hasyim, kehormatan bagi NU itu bukan kalau mempunyai kedudukan ini dan itu, tapi bisa merawat aneka ragam negeri ini bukan dengan ego, tapi dengan semangat kebangsaan. Jangan sampai negeri ini pecah karena salah urus.



(RD) Bukan dengan ego? Apa sih Gus bahaya semangat egoisme dalam mengelola bangsa?



(GD) Anda tahu tidak kenapa Indonesia bisa berdiri seperti ini, bukan menjadi negara Islam, padahal kurang lebih 90 persen masyarakat Indonesia beragama Islam. Inilah pengorbanan egoisme tokoh-tokoh Islam pada masa awal berdirinya Negara Indonesia. Sampeyan pasti ngerti, pada awalnya, aspirasi politik tokoh-tokoh Islam ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tetapi mereka menyadari besarnya resiko bila aspirasi itu dipaksakan. Sampai kemudian ada kompromi Piagam Jakarta. Tapi itu pun akhirnya tujuh kata Piagam Jakarta dicoret. Itulah bentuk pengorbanan ego demi berdirinya negara kebangsaan kita.



(RD) Saya tidak terbayang Gus, apa yang terjadi tidak ada pengorbanan ego itu.



(GD) Bisa jadi negara Indonesia tidak pernah ada. Nah, tugas Anda semua merawat itu. Saya tahu ada beberapa kelompok Islam yang sekarang mengungkit-ungkit pengorbanan itu, tapi kalau kiai-kiai NU ikhlas. Mereka tidak akan mengungkit-ungkit dan merasa paling berjasa pada negara ini. Tapi, kalau ada orang mau merusak dan mencabik-cabik keutuhan bangsa, kiai NU pasti akan berdiri di barisan paling depan untuk melawan.



(RD) Iya Gus, beberapa waktu lalu saya Jum’atan yang khatibnya kelihatan itu orang HTI. Seperti biasa mereka mengharamkan nasionalisme dan demokrasi. Sang Khatib juga mengatakan kalau umat Islam sangat cinta pada Indonesia yang dibuktikan dengan adanya resolusi jihad Hadaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.



(GD) Inilah liciknya orang HTI. Resolusi Jihad itu pengorbanan untuk membela nasionalisme yang mereka haramkan itu. Mereka mengharamkan demokrasi, tapi lupa satu hal, bahwa mereka bisa hidup di Indonesia yang karena demokrasi. Tapi saya yakin, kalau berkuasa mereka akan membunuh demokrasi, membunuh ibu kandungnya sendiri. Kalau saya sih, HTI itu sudah bisa dikatakan sebagai ancaman serius ideologi bangsa. Sayangnya, pemimpin-pemimpin Indonesia tampaknya takut dikatakan anti-Islam sehingga membiarkan ideologi HTI seperti virus yang menyebar kemana-mana. Nanti kalau mereka sudah besar, masuk ke dalam sel-sel birokrasi bahkan tentara, baru akan kelabakan. Hati-hati lho, sekarang ideologi khilafah sudah masuk ke sel-sel birokrasi.



(RD) Ada lho Gus orang yang merasa Islamnya tidak sempurna kalau belum menjadikan Indonesia menjadi negara Islam atau belum membuat negara khilafah.



(GD) Iya, saya tahu itu. Sebagai pemikiran sih tidak apa-apa. Ideologi seperti itu tidak akan pernah mati. Tapi kalau sudah menjadi gerakan politik, apalagi sudah ada tanda-tanda mau mengganti dasar negara Pancasila, negara harus berani berbuat. Kalau hanya soal apakah Pancasila dijadikan azas yang dicantumkan dalam pendirian ormas atau partai politik, saya gak peduli, asal mereka tidak hendak mengganti Pancasila. Kalau sudah membuat gerakan politik mengganti Pancasila, itu musuh NU dan musuh bangsa. Mendingan cari pulau sendiri aja untuk buat negara Islam.



(RD) Ada hal yang paradoks Gus terkait ancaman ideologi ini. Di satu sisi bangsa ini sangat sensitif terhadap ancaman komunisme yang sebenarnya tidak jelas alamatnya dimana, tapi terhadap ancaman ideologi Islamisme dan khilafah justru dibiarkan. Bagaimana pendapat Gus Dur?



(GD) Kalau garis saya sih jelas, gerakan apapun yang secara nyata ingin mengganti Pancasila itu musuh NU dan musuh bangsa. Saya juga heran, di saat ideologi komunisme sudah mengalami kebangkrutan dimana-mana, tapi di negeri ini justru dijadikan momok. Ada pertemuan keluarga korban 65 yang diikuti orang-orang yang sudah renta akan begitu ditakuti seolah mereka mau melakukan kudeta. Tapi ketika ada Konferensi Internasional HTI yang dilakukan tidak jauh dari istana negara justru dibiarkan, padahal mereka jelas ingin mengganti Pancasila dengan sistem khilafah. Ini kebebalan ideologi. Ini kan bisa diibaratkan seperti takut dengan semut tapi justru membiarkan binatang buas masuk ke dalam rumah kita. Ini hanya qiyas lho ya, sangan dipahami secara harfiyah.



(RD) Saya masih punya harapan besar Gus terhadap NU untuk menjadi penjaga ideologi Pancasila.



(GD) Betul, NU satu-satunya lembaga keagamaan yang tanpa ragu-ragu menerima Pancasila sebagai asas Tungal pada 1984. Ketika masih banyak orang takut dengan Pancasila yang dikhawatirkan mengganti akidah Islam, NU melalui KH. Acmad Shiddiq menegaskan bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa yang tidak akan menggantikan akidah Islam. Masing-masing berjalan pada rel-nya. Jadi kalau sekarang masih ada orang yang merasa kurang Islam karena Indonesia tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, terus terang saya kasihan pada mereka.



(RD) Pertemuan kita kali ini rasanya cukup Gus. Saya terus berdoa semoga Gus Dur baik-baik saja. Dan jangan lupa sungkem kami untuk Mbah Hasyim jika nanti Gus Dur sowan ke beliau.



(GD) Insyaallah nanti saya sampaikan. Salam saya juga untuk teman-teman.

5825
 

Add comment


Security code
Refresh